Ulama dalam Penyelesaian Konflik Aceh

Oleh Tasar Karimuddin
Mahasiswa jurusan Political Science Agra University, India.

Kunjungan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan disertai menko polhukam dan menko perekonomian, serta didampingi beberapa menteri, menarik untuk dicermati. Kunjungan kerja Presiden RI ke Aceh ini berkaitan dengan seratus hari masa kerja SBY dan Kabinet Indonesia Bersatu. Kunjungan ini untuk mencari solusi atas konflik-konflik di Aceh.

Kunjungan SBY ini, sepintas, memberikan harapan baru bagi masyarakat Aceh. Sejauh mana harapan tersebut dapat dibaca? Penyelesain konflik ini tidak akan tuntas tanpa memaksimalkan tiga komponen: agamawan, DPRD, dan KPK dan penegakan hukum.

Penyelesaian konflik di Aceh, bagaimanapun juga, tidak mungkin terlepas dari peran agamawan. Negeri Aceh yang dikenal dengan Seramoe Mekkah ini mempunyai fenomena yang unik dalam interaksi dan interrelasi antara ulama dan umat. Peran agamawan sangat dominan. Namun, peran besar agamawan tersebut, dalam beberapa dekade terakhir, terlihat menipis. Gambaran ini sangat terlihat, terutama, sejak berlakunya operasi militer pada tahun 2001di Aceh,

Apalagi pada operasi militer besar-besaran melawan GAM yang ditetapkan oleh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 19 mei 2003. Selain menelan banyak korban dari berbagai golongan baik itu dari TNI, GAM, dan rakyat tak berdosa, operasi ini juga telah semakin menimbulkan jarak luas antara masyarakat dan ulama. Hubungan masyarakat dan ulama menjadi terhalangi.

Dalam banyak hal, rakyat menaruh harapan kepada Majlis Pemusyawaratan Ulama {MPU}. Lembaga keagamaan ini juga sangat diharapkan partisipasinya dalam mencari solusi untuk Aceh. Namun, sayangnya, lembaga ini tidak bisa melakukan apa-apa. Lembaga ini hanya bisa menerapkan hukum Syari'at Islam yang sampai sekarang pun masih belum seratus persen terlaksana. Ini semua diakibatkan karena peminggiran peran ulama. Akibatnya, kedudukan ulama yang sangat tinggi dimata masyarakat akan menjadi rendah, satu hal yang tidak kita inginkan. Tanpa peran penting ulama, kemana lagi masyarakat mencari perlindungan?

Tapi sayangnya, peran ulama sendiri sudah mulai bergeser. Tidak sedikit ulama yang terlibat dalam dunia politik secara vulgar, dengan ikut bermain dalam salah satu partai politik yang ada. Jika demikian, akhirnya, beberapa ulama hanya menjadi tokoh untuk satu golongan saja, bukan pelindung seluruh masyarakat. Jika ulama kembali ke peran awal, sebagai pelindung seluruh masyarakat, maka titik terang akan segera muncul di Aceh. Ulama bisa berperan sebagai juru bicara rakyat. Dan peran juru bicara ini telah terpinggirkan karena operasi militer.

Operasi militer berhasil menggeser peran ulama sebagai penengah konflik. Pada sisi lain, operasi ini juga merubah pola kehidupan masyarakat menjadi suram dan menakutkan. Dalam kondisi semacam ini ulama sulit memberikan perlindungan kepada meraka. Peran perlindungan kepada masyarakat tersebut, mau tidak mau, seharusnya segera diambil alih oleh para wakil rakyat. Bagaimana caranya? Yaitu dengan menampung aspirasi mereka.

Secara kelembagaan, pihak yang harus serius manampung aspirasi-aspirasi rakyat ini adalah DPRD Aceh. Mereka yang mendapat mandat rakyat ini sudah seharusnya lebih cenderung memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka bukan hanya duduk, diam, dan duit {D3}. Kalau itu yang masih terjadi pada anggota Dewan sekarang, maka tiada bedanya mereka dengan Dewan yang sebelumnya. Sekaranglah waktu untuk menepati janji-janji tersebut. Karena, peran personal anggota Dewan ini juga berarti perlindungan kepada masyarakat. Bagaimana aplikasinya?

Anggota hendaknya mengadakan kunjungan ke setiap desa. Ini sebagai langkah awal untuk meninjau perkembangan kehidupan masyarakat dan berdialog secara terbuka. Dan itu bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dilaksanakan, karena pada pra-PEMILU pada umumnya anggota Dewan akrab bergaul dengan masyarakat. Apakah jabatan sebagai anggaota Dewan tersebut menjadi tembok pemisah masyarakat? Tentu tidak. Tanpa mendengar langsung keluhan masyarakat, hal ini berarti anggota Dewan telah tertimpa krisis moral. Krisis moral berikutnya adalah bersikap angkuh, korup dan menipu rakyat. Kalau saja anggota Dewan masih bertindak seperti ini, maka runtuhlah harapan rakyat. Baik kepada anggota Dewan, bahkan kepada sistem. Pada gilirannya, kelompok pemberontak akan memanfaatkan ketidak-puasan rakyat ini, dan konflik di Aceh pun makin berlarut-larut.

Point kedua, konflik di Aceh sulit akan mereda --jika kita lebih dalam mencermati--, karena adanya dendam bebuyutan. Meskipun kita katakan bahwa keadaan aceh telah kondusif pada tahun 2005, namun apakah pada tahun 2020 nanti generasi-generasi Aceh yang merasa tidak mendapat keadilan terhadap pembunuhan keluarganya akan diam saja? Tentu saja tidak. Nah, kalau sampai keadilan kepada mereka tidak terpenuhi, maka penyelesian konflik Aceh mustahil akan terwujud. Penegakan hukum adalah salah satu titik perhatian kita. Sekarang ini, pemberian hukuman kepada orang-orang yang telah berbuat salah harus ditegakkan. Para pembunuh, perampok, pemerkosa dan penganiaya rakyat, sipapun dia, harus diberi hukuman yang sepadan.

Hal mendesak berikutnya dari penegakan hukum ini adalah penanganan serius untuk setiap kasus korupsi yang terjadi di Aceh. Dari situ, peran KPK, sebuah lembaga yang paling berkewajiban menanggani kasus korupsi, dituntut untuk berperan besar.

Pemerintah baru di Jakarta, dikatakan, memberikan perhatian utama pada konflik dan penanganan kasus korupsi di Aceh. (Serambi Indonesia, 24 November 2004). Namun, kendati demikian, penanganan kasus korupsi hingga detik ini belum berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat. Dugaan kasus korupsi gubernur Aceh, Abdullah Puteh, belum ada titik terang. Malahan, kasus-kasus korupsi kecil saja yang diangkat. Ini bisa dikatakan mengalihkan permasalahan.

Perlu menjadi perhatian kita, tanpa penanganan serius, maka masalah korupsi di Aceh tak akan pernah terselesaikan. Pada gilirannya, hal ini membuat krisis kepercayaannya kepada pejabat di mata Rakyat makin menebal. Tetapi jika KPK secara sungguh-sungguh menjalankan kinerjanya, tidak mustahil penyelesaian masalah korupsi ini menjadi awal penyelesaian konflik di Aceh. Dan kepercayaan rakyat lambat laun akan pulih.

Jadi, penyelesain konflik di Aceh sebetulnya berawal dari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan NKRI. Penanganan yang tepat dengan disertai keseriusan besar akan mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap lembaga resmi tersebut, dan dengan sendirinya akan menipiskan kepercayaan kepada kelompok lain.

Dalam pemulihan kepercayaan ini, ulama sebagai tokoh pengayom masyarakat harus dilibatkan secara intens. Penyingkiran peran ulama dari setiap upaya penyelesaian di Aceh hanyalah berarti memperpanjang masalah di Aceh sebagai kasus yang makin berlarut-larut. Dengan demikian, dapat dikatakan, setiap upaya pemberdayaan Aceh adalah pemberdayaan peran ulama.

Dengan demikian, maksimalisasi peran tiga komponen di atas berarti, bahwa penyelesaian konflik dan permasalahan di Aceh akan segera bisa ditemukan titik terangnya. Dan, political will SBY dalam penyelesaian konflik di Aceh hanyalah omong kosong, sebagaimana pemerintah sebelumnya, jika tanpa memperkuat tiga komponen penting tersebut, terutama, pengembalian peran ulama di tengah masyarakat Aceh.

Wallahu a’lam.

Comments

  1. mlekoom tengku,
    ini neh, itu read more kita, kayaknya terlalu ke atas, bisa diturunin kali ye

    Rozi

    ReplyDelete
  2. Assalamu'alaikum! Mas Tasar numpang lewat nih!

    Salam

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sisi buruk pemerintahan demokrasi

Teori ilmu politik

Apa Itu ilmu Politik